Senin, 11 April 2016

Dialogika Islam Nusantara



Dialogika Islam Nusantara

Pembukaan Munas ulama NU di masjid Iqtiqlal, Minggu (14/06), kembali menyuarakan dukungan terhadap model Islam Nusantara. Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia. Walaupun dianggap bukan istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, NU. Dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU, Minggu (14/06) di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara. "Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU," kata Said Aqil, yang dibalas tepuk tangan ribuan anggota NU yang memadati ruangan dalam Masjid Istiqlal.
Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan Munas Ulama NU, menyatakan mendukung model Islam Nusantara. Menurutnya, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya "dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras." "Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya," katanya usai acara kepada BBC Indonesia. Dari pijakan sejarah itulah, menurutnya, NU akan terus mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu "Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran." Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.Ketua PBNU, Said Aqil Siradj  Said Aqil menegaskan, model seperti ini berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai "Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara."
(Munas PBNU).

Dialektika Fundamentalis kontra Tawasuth
            Islam hanya ada satu, tidak ada Islam yang berlabel ataupun bermerek, karena guru kita adalah Rasulullah SAW. dan Allah sudah menyempurnakannya (seperti dalam kutipan Q.S. Al Maidah : 3)
Seiring berjalannya waktu, kita kenal dengan istilah Islam garis keras, islam fundamentalis, liberal, kapitalis, puritan, kejawen, pribumi, nusantara, radikal, sinkretis, totalitas, formalitas, transformatif. Lalu apakah hal tersebut merupakan cabang Islam? atau ibarat sebuah ajaran baru yang dibuat-buat? yang mengkaburkan Syari’at murni Rasulullah SAW?  apakah nama-nama tadi hanya mengkotak-kotakkan perspektif Islam sebenarnya? bukan, karena Islam itu memang satu tidak ada nama Islam berlabel apapun, karena kita Islam Rasulullah dan wajib beritiba’ kepadamya. pertanyaannya, lalu Islam apakah nama-nama tadi??? semua orang pasti paham, awal mula firqoh-firqoh yang muncul sejak wafatnya Nabina Muhammad SAW. dan hal ini tidak bisa dipungkiri.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
3240-4062. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Umat Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, sedangkan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan'." Shahih Ibnu Majah
            Semenjak itulah tipologi-tipologi keIslaman muncul, beberapa faktor pendukung antara lain, karena Islam yang semakin luas ditambah begitu banyaknya para amir (gubernur) yang diberi mandat oleh sang Khalifah untuk memimpin daerahnya masing-masing. Pertanyaannya, bukankah disetiap tempat, wilayah, atau daerah begitu Islam turun disana telah ada budaya dan peradaban yang sudah berkembang sebelumnya? lalu apakah sama peradaban suatu daerah lain dengan lainnya? apakah sama budaya, kondisi masyarakat, Kuffah dengan Syam? Afrika dengan Arab? tentu berbeda, karena faktor local wisdom masyarakat yang heterogen, ditambah kondisi geografis yang mempengaruhi teologi masyarakatnya.
Konteks Indonesia
            Kita bisa memahami konteks Indonesia, ataupun Nusantara yang begitu beragam aliran kepercayaan kuno, agama, ras, budaya, suku, bahkan bahasa. Maka dapat dikatakan Islam lahir di Nusantara yang dimana sudah memiliki begitu beragamnya perdaban khas Nusantara. Begitu Islam dibawa oleh para Walisongo yang begitu damai, vernacular, tidak radikal bahkan sparatis. Metodologi yang begitu santun tanpa membabi buta memberangus budaya yang sudah ada sejak dahulu kala (Hinduism dan Buddhism). Artinya ada sebuah bentuk Islamisasi budaya (akulturasi) atau (pemolesan) budaya atau kultur yang sudah ada dengan syari’at Islam, pertanyaannya, lalu apakah ini bukan malah menambah doktrin baru sehingga kemurnian Islam tercampur dengan budaya?  Tidak, ini adalah sebuah metode atau cara dakwah mereka yang ibarat pepatah “membersihkan air keruh didalam akuarium tanpa memecahkan kacanya” artinya budaya yang telah ada tidak perlu dibabat habis, namun cukup diinput dengan doktrin-doktrin keIslaman, sehingga masyarakat awam tidak sampai kabur dengan ajaran islam yang baru tersebut, sekaligus mengimplementasikan bahwasannya Islam itu Rahmatal lil ‘alamiin. Karena itu tradisi yang telah ada tidak perlu dihilangkan dengan syarat asal tidak melanggar syari’at Islam, hal ini seperti pendapat al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali (Murid Syaikh Ibn Taimiyah). Maka kita kenal sejauh ini beragam tradisi budaya Nusantara yang kemudian diIslamkan semacam tahlilan, slametan, sedekah bumi, tedak sinten, megengan, kubroan, ziarah wali, istighotsah, manakib, sholawat. Yang kemudian kita paham NU sebagai pengawal lestarinya tradisi Islam khas Indonesia (baca: perjuangan dakwah K.H. Hasyim Asy-Ari).
Dinamika Founding Father NKRI - Khilafah
            “...17 Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita...” waktu kecil bersekolah kita dulu begitu sering tergiang ditelinga kita akan lagu-lagu kebangsaan ini. Kita coba kupas makna kebangsaan (Wathoniyah) yang pluralis dan humanis. Kita paham kolonialis imperialis 360 tahun memperbudak rakyat Nusantara ini dengan penjajahannya, kita kenal perang sekutu, perang melawan Jepang, melawan Inggris dan beberapa penjajah lainnya. Kita paham Nusantara yang beragam suku bangsa telah menghibahkan jiwa raganya hanya untuk kedaulatan dan kemerdekaan bangsa, tidak peduli umat agama apapun, bahkan aliran kepercayaan apapun semua bahu-membahu menegakkan gema suara perjuangan. Pertanyaannya??? pantaskah, jika salah satu gerakan agama getol meyuarakan ajarannya, ideologinya?? atau berhasrat menguasai konteks politik pemerintahannya hanya karena sebuah dogma-dogma yang diyakininya?? maka, sangat naif sekali jika hal ini dilakukan, karena NKRI adalah negara bangsa, bukan negara agama, Nusantara meliputi beragam aspek aliran, teologi, fenomenologi, antropologi budaya dan agama. Bukan satu aspek dalam sebuah agama satu, diatas sudah dijelaskan bahwa setiap daerah punya peradaban yang telah ada, apakah sama local wisdom bangsa Arab dengan Pribumi Nusantara??? apakah sama sosiologi. psikologi dengan beragam dinamikanya??? tentu berbeda, karena NKRI negara hukum bangsa bukan darul Islam. Pertanyaannya, bagaimana dampak dari rencana atau estimasi berdirinya darul Islam terhadap bangsa timur yang notabene umat Kristiani (Papua, Maluku, Sulawesi dan bagian Indonesia lainnya)??? tentu, akan terjadi bentuk diskriminasi Agama, disintegrasi bangsa, bughat dimana-mana, karena kemerdekaan negara telah disokong beragam bangsa bukan satu bangsa. Kita hanya melihat sekilas hadits Nabi SAW (H.R. Al Bazzar dan Ibn Khuzaimah : Tentang Khilafah), tidak melihat aspek-aspek yang lainnya, pertanyaannya dari sekian ideologi gerakan Islam yang disokong beragam umat dengan ulama’-ulama’nya lalu yang manakah yang berhak dijadikan amir atau sang khalifah???, apakah mereka pengikutnya Taqiyyudin An Nabhani dengan Hizbut Tahrirnya? Ibn Taimiyah dengan Salafi-Wahabinya ? Hasan Al-banna dengan Ikhwanul Muslimnnya? atau mereka yang pengikut setia Al-Asy Ariyah?
            Kemudian (golongan yang demam syariah) mengatakan “ ...yang berhak sebagai amir yang telah pantas dijadikan pemimpin entah dari kalangan NU, MD, JI, JAT, JT, HTI, IM, WHB, dan golongan yang lainnya, yang terpenting ia sudah memenuhi kriteria dan dibaiat umat Islam sedunia”. Sebuah gagasan yang indah namun mustahil, kita melihat aspek perbedaan-perbedaan yang ada mulai dari para ulama diatas, apakah sama pola ideologi gerakannya??? padahal “beda kepala beda pula otak beda pula pemikirannya”. Kalau dipaksakan, apakah tidak terjadi perebutan jabatan amir dari setiap umat untuk mencalonkan pemimpinnya???

Pancasila atau Syari’at?
            Kafir umat tidak berdasarkan hukum kepada Al-Qur’an dan Al-sunnah, “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Al-Maidah 47)”. Kutipan ayat ini menjelaskan tentang ahlul kitab yang tidak berhukum kepada hukum Allah dan hanya mengikuti perasaan nafsu mereka belaka. Lalu, bagaimana hukumnya Pancasila??? apakah ia hukum baru dengan UUD, UU, Perpu, Inpres, KHI??? karena semuanya adalah dasar hukum buatan manusia???. In Syaa Allah jika kita memahami bagaimana proses pengambilan hukum Islam (Studi hukum Islam) mulai teori ihtihsan, istinbath, ‘urf, Sadd Al-dzari’ah, Syar’u Man Qoblana, Madzab Shahabi, bahkan teori kompilasi dan Taqnin yang mengerucut pada hukum ushul fiqh. Jadi tidak harus tekstual kepada ayat maupun hadits. Jadi pancasila tidak semata hukum baru buatan manusia, melainkan implementasi hukum wathoniyyah yang meliputi semua elemen masyarakat Nusantara, adapun makna butir-butir pancasila tidak lepas dari kandungan Al-Qur’an. Maka dari itu sudah tentu Pancasila pun mengandung syariat Islam konteks fiqh Nusantara, jadi estimasi Khilafah merupakan gagasan yang musykil, dan tidak mungkin diterapkan di Nusantara ini (“Indonesia Demokrasi bukan Khilafah”).
            Maka dari itu renungan menuju gerakan Islam Nusantara sebagai implementasi Islam yang Rahmatal lil ‘alamin, sebagai perspektif tipologi Islam yang toleran, tidak radikal dan senantiasa merangkul beragam kultur masyarakat Nusantara yang berbeda-beda, sehingga budaya yang ada senantiasa di lestarikan tidak semata-mata di hilangkan sebagai ciri khas Islam wajah Indonesia (Fiqh Nusantara).

Salah Kaprah Perspektif Islam Nusantara
            Islam itu murni hanya satu, bukan ada Islam Nusantara, Islam China, Islam Eropa. Karena Islam adalah agama yang dibawa kerasulan Nabi Muhammad SAW. hanya saja disetiap daerah punya cara sendiri-sendiri dalam memahami Islam. Yang jadi sorotan bagi cendekiawan-cendekiawan maupun pemuda-pemuda Islam adalah bagi mereka yang salah mengartikan Islam Nusantara sebagai makna kebebasan (Liberalisasi) terhadap tekstualitas ayat dan hadits. Kebanyakan kalangan awam memaknai Islam Nusantara berbeda dengan Islam Arab yang kemudian jubah tidak perlu, Al-qur’an tidak harus dengan nada Arab, Jilbab itu budaya Arab, Nusantara tidak perlu berjilbab, agar lebih paham dan khusuk sholat diterjemahkan kealam logat setiap daerah Nusantara, meniadakan hukum syari’at yang diganti dengan hukum adat secara mutlak.
            Nah, inilah yang perlu diluruskan agar perspektif (kalangan demam Syari’ah) itu tidak salah kaprah terhadap Nusantara. Merangkul budaya sebagai ciri khas Nusantara alangkah indahnya dan silahkan, namun tidaklah malah mengganti syari’at yang telah ada dengan adat dan budaya secara mutlak**

Wa Allahu a’lam bi ash-Shawaab




**)ArsantriNU